Good
Corporate Governance atau sering disingkat GCG adalah suatu praktik
pengelolaan perusahaan secara amanah dan prudensial dengan mempertimbangkan
keseimbangan pemenuhan kepentingan seluruh stakeholders.
Dengan implementasi GCG / penerapan GCG, maka pengelolaan
sumberdaya perusahaan diharapkan menjadi efisien, efektif, ekonomis dan
produktif dengan selalu berorientasi pada tujuan perusahaan dan memperhatikan
stakeholders approach.
Perkembangan usaha dewasa ini telah sampai pada tahap persaingan global dan terbuka dengan dinamika perubahan yang demikian cepat. Dalam situasi kompetisi global seperti ini, Good Corporate Governance (GCG) merupakan suatu keharusan dalam rangka membangun kondisi perusahaan yang tangguh dan sustainable.
Siapa
Yang Harus Menguasai GCG?
Beberapa
jabatan berikut ini sudah semestinya menguasai apa itu GCG /Good Corporate
Governance, diantaranya:
- Dewan Komisaris,
- Direksi,
- Corporate Secretary,
- Komite Audit,
- Komite GCG,
- Bagian Legal dan Compliance,
- Internal Audit perusahaan BUMN & Swasta,
- Dana Pensiun,
- Yayasan/Koperasi,
- Dan siapapun yang hendak mengimplementasikan GCG.
Prinsip-prinsip
dalam Good Corporate Governance adalah sebagai berikut :
- TransparasiYaitu mengelola perusahaan secara transparan dengan semua stake holder (orang-orang yang terlibat langsung maupun tidak langsung dengan aktivitas perusahaan). Di sini para pengelola perusahaan harus berbuat secara transparan kepada penanam saham, jujur apa adanya dalam membuat laporan usaha, tidak manipulatif. Keterbukaan informasi dalam proses pengambilan keputusan dan pengungkapan informasi yang dianggap penting dan relevan.
- AccountabilityYaitu kejelasan fungsi, struktur, sistem dan pertanggungjawaban dalam perusahaan, sehingga pengelolaan perusahaan dapat terlaksana secara efektif dan efisien. Manajemen harus membuat job description yang jelas kepada semua karyawan dan menegaskan fungsi-fungsi dasar setiap bagian. Dari sini perusahaan akan menjadi jelas hak dan kewajibannya, fungsi dan tanggung jawabnya serta kewenangannya dalam setiap kebijakan perusahaan.
- ResponsibilityYaitu menyadari bahwa ada bagian-bagian perusahaan yang membawa dampak pada lingkungan dan masyarakat pada umumnya. Di sini perusahaan harus memperhatikan amdal, keamanan lingkungan, dan kesesuaian diri dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat setempat. Perusahaan harus apresiatif dan proaktif terhadap setiap gejolak sosial masyarakat dan setiap yang berkembang di masyarakat.
- Independensi Yaitu berjalan tegak dengan bergandengan bersama masyarakat. Perusahaan harus memiliki otonominya secara penuh sehingga pengambilan-pengambilan keputusan dilakukan dengan pertimbangan otoritas yang ada secara penuh. Perusahaan harus berjalan dengan menguntungkan supaya bisa memelihara keberlangsungan bisnisnya, namun demikian bukan keuntungan yang tanpa melihat orang lain yang juga harus untung. Semuanya harus untung dan tidak ada satu pun yang dirugikan.
- FairnessYaitu semacam kesetaraan atau perlakuan yang adil di dalam memenuhi hak dan kewajibannya terhadap stake holder yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perusahaan harus membuat sistem yang solid untuk membuat pekerjaan semuanya seperti yang diharapkan. Dengan pekerjaan yang fair tersebut diharapkan semua peraturan yang ada ditaati guna melindungi semua orang yang punya kepentingan terhadap keberlangsungan bisnis kita.
Contoh Kasus :
Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengakui adanya dugaan pelanggaran UU
No.5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
oleh PT PLN (Persero) apabila BUMN sektor listrik itu meneruskan kebijakan
capping untuk TDL sektor industri. KPPU akan mengkaji sesuai dengan prosedur
lewat pemeriksaan selanjutnya. Kemungkinan pasal yang akan dikaji KPPU ialah
pasal 19d di dalam Undang-Undang Nomor 5/1999 yang mengatur masalah
diskriminasi terkait penerapan tarif terhadap para pelaku industri.Untuk itu,
KPPU akan segera menelisik data-data PLN untuk melihat siapa saja pelanggan
industri yang menikmati capping dengan yang tidak. Sementara ini, KPPU mengakui
pada 2010 memang terdapat perbedaan tarif untuk golongan-golongan industri. Untuk
golongan industri kecil atau rumah tangga yang dikenakan capping diganjar Rp803
per KWh. Sementara yang tidak kena capping dikenakan Rp916 per KWh. Sehingga
ada disparitas harga sekitar Rp113 per KWh. Sementara untuk golongan menengah
berkapasitas tegangan menengah berbeda Rp667 per KWh apabila dikenakan capping
dan Rp731 KWh untuk yang tidak. Perbandingan bagi industri yang memakai capping
dengan yang tidak, untuk tegangan menengah sebesar 23%. Untuk golongan tarif
untuk keperluan industri besar, mereka yang dikenakan capping harus membayar
sebesar Rp594 per KWh sementara yang tidak menjadi Rp605 per KWh (disparitas
harga Rp11 per KWh). Berdasarkan indikasi-indikasi tersebut, KPPU akan segera
melakukan pemeriksaan sesuai prosedur yang ada berdasarkan surat yang masuk ke
pihaknya pada 11 Januari silam.
KPPU juga
akan panggil pihak yang selama ini diuntungkan dengan tarif lebih rendah atau
yang iri terhadap perbedaan harga karena mereka dikenakan beban yang lebih
tinggi dibanding yang lain. Selain itu, mereka juga akan memanggil Pemerintah
dan Kementerian Keuangan dan Dirjen Listrik Kementerian ESDM untuk meminta
pandangan dari mereka dan akan membuktikan di lapangan misal cek kuitansi
supaya ada fakta dan data hukum tidak hanya data statistik.
Fungsi PT.
PLN sebagai pembangkit, distribusi, dan transmisi listrik sebenarnya sudah
mulai dipecah. Swasta diizinkan berpartisipasi dalam upaya pembangkitan tenaga
listrik. Sementara untuk distribusi dan transmisi tetap ditangani PT. PLN. Saat
ini telah ada 27 Independent Power Producer di Indonesia. Mereka termasuk
Siemens, General Electric, Enron, Mitsubishi, Californian Energy, Edison
Mission Energy, Mitsui & Co, Black & Veath Internasional, Duke Energy,
Hoppwell Holding, dan masih banyak lagi. Tetapi dalam menentukan harga listrik
yang harus dibayar masyarakat tetap ditentukan oleh PT. PLN sendiri.
Krisis
listrik kemudian juga memuncak saat PT. Perusahaan Listrik Negara (PT. PLN)
memberlakukan pemadaman listrik secara bergiliran di berbagai wilayah termasuk
Jakarta dan sekitarnya, selama periode 11-25 Juli 2008. Hal ini diperparah oleh
pengalihan jam operasional kerja industri ke hari Sabtu dan Minggu, sekali
sebulan. Semua industri di Jawa-Bali wajib menaati, dan sanksi bakal dikenakan
bagi industri yang membandel. Dengan alasan klasik, PLN berdalih pemadaman
dilakukan akibat defisit daya listrik yang semakin parah karena adanya gangguan
pasokan batubara pembangkit utama di sistem kelistrikan Jawa-Bali, yaitu di
pembangkit Tanjung Jati, Paiton Unit 1 dan 2, serta Cilacap. Namun, di saat
yang bersamaan terjadi juga permasalahan serupa untuk pembangkit berbahan bakar
minyak (BBM) PLTGU Muara Tawar dan PLTGU Muara Karang.
Akibat
dari PT. PLN yang memonopoli kelistrikan nasional, kebutuhan listrik masyarakat
sangat bergantung pada PT. PLN, tetapi mereka sendiri tidak mampu secara merata
dan adil memenuhi kebutuhan listrik masyarakat. Banyak daerah-daerah yang
kebutuhan listriknya belum terpenuhi dan juga sering terjadi pemadaman listrik
secara sepihak. Kejadian ini menyebabkan kerugian yang tidak sedikit bagi
masyarakat, dan investor menjadi enggan untuk berinvestasi.
Analisis :
Menurut
saya perusahaan diatas telah menyimpang dari metode Good Corporate
Governance, karena disini PLN selaku perusahaan listrik satu-satunya di
Indonesia terlihat tidak memiliki tanggung jawab (Responsibility) yang
baik terhadap masyarakat. Sehingga masyarakat selaku pengguna layanan
listrik PLN merasa sangat dirugikan dengan terjadinya krisis listrik
yang dialami oleh pihak PLN.
No comments:
Post a Comment